Hidup yang Polos

Seperti kata Lord Aldi Taher, kita (manusia) semua di muka bumi ini bingung, nanti gak bingung kalau sudah di surga. Beberapa hari lalu saya merasa bingung atas beberapa bagian di hidup saya. Karna saya bingung, maka saya tanya ke beberapa temen saya. Beberapa menjawab saja dengan biasa, beberapa bingung apa yang terjadi pada saya, beberapa juga memberikan pengertian kalau saya lagi bingung. Namun, salah satu teman saya setelah menjawab dengan jawaban agak rumit malah ditimpa sama pertanyaan reflektif.

Pertanyaannya sederhana sih, awalnya cuma tanya “pasca musyda opo sek meh mbok lakukan e?” (setelah musyda apa yang mau kamu lakukan?).

Saya yang masih gak tau mau ngapain spontan jawab aja, “gak tau”. “mencapai apa yang bisa tak capai” tambah saya.

Kayaknya jawaban yang gak ada isinya dan tidak menjawab apa-apa ini buat temen saya punya makna yang dalam dan “menarik,” katanya. Lalu muncul lah pertanyaan bangsat ini –saya anggap bangsat karena sederhana tapi bikin saya mau cerita—“Kamu ada ambisi (apa) yang membuatmu sampe jadi sekarang?”.

Ya Allah” batin saya.

Lalu yang terlintas di isi otak ini Cuma jawaban “gak ada si”, “Aku let it flow aja sama hidupku”.

Setelahnya saya bercerita apa yang akan saya cerita di tulisan ini juga yang katanya menarik, keren dan kata temenku dia kayak lagi ngobrol sama filsuf yang udah mau pensiun dari pekerjaan kantoran yang pergi Subuh pulang Isya di ibu kota dengan udaranya yang penuh polusi itu. Anjrit, aku ketawa baca kalimat sebelum ini. HAHAHA.

Dimulai dari Sini

Mungkin bagi beberapa orang, hidup polosan, gak punya cita-cita, gak punya ambisi, gak punya semangat dan gairah hidup adalah aneh. Saya juga dididik untuk selalu punya cita-cita sehingga hidup ini bisa diatur, disetting sedemikian rupa supaya cita-cita tersebut tercapai, pada akhirnya berambisi. Ya kan? Sedangkan saya gak punya cita-cita yang jelas, gak punya ambisi, gak punya semangat dan gairah hidup. Jadi saya aneh? Mungkin.

Tapi begini, coba saya jelaskan asal mulanya. Sebagai insan manusia yang dididik untuk punya cita-cita, ambisi, dan tetek bengeknya di atas tentu saya pernah punya cita-cita dan ambisi. Tepatnya saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sewaktu SMP saya punya cita-cita untuk lanjut di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota Jogja. Pemantiknya adalah kesedihan saya waktu lulus Sekolah Dasar (SD) dan gagal masuk SMP Negeri di Jogja yang akhirnya saya masuk sekolah Muhammadiyah lagi. Tidak mengapa dan tidak saya sesali sampai saat ini.

Kembali di saat SMP. Saya punya cita-cita dan ambisi besar buat masuk SMA negeri. Ambisi berbalur semangat juang saat itu saya anggap bener-bener gokil. Saya selalu coba belajar 24/7 dengan serius sebagai bentuk ikhtiar dan ibadah sekaligus dengan kusyu tak lupa saya jalani sebaik-baiknya sebagai langkah tawakal.

Singkat cerita, setelah lulusan saya dapat nilai cukup memuaskan bahkan dapet penghargaan siswa berprestasi –prettt. Setelah lulus saya mengikuti rangkaian seleksi masuk sekolah negeri dan sayapun diterima di salah satu sekolah negeri di Jogja –cukup favorit juga. Wah, betapa. Betapa senang dan bangganya orang tua saya. Alhamdulillah saya ikut senang dan bahagia lihat orang tua saya bahagia.

Lalu bagaimana dengan saya? Setelah berhasil menggapai cita-cita yang saya capai dengan penuh ambisi dan semangat. Ternyata yang saya temukan adalah perasaan biasa saja. Ya saya tau bahwa sudah semestinya saya senang, bahagia dan bangga. Itu terjadi kok. Tapi cuma dalam hitungan hari aja. Setelah itu biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Sejak saat itu, saya gak pernah lagi punya cita-cita dan ambisi besar. Pada akhirnya yang berlebihan juga gak baik kan? Terlalu punya ambisi jadi ambisius, bisa merugikan diri sendiri bisa juga orang lain. Tapi, punya cita-cita tetap penting, supaya kita tetap pada jalan menuju cita-cita tersebut.

Buat saya sekarang, menggapai cita-cita itu perjalanan sangat panjang. Ibarat kalo orang naik gunung, kalau dilihat puncaknya emang terlihat dekat. Tapi gak tau ada berapa tanjakan dan turunan di depan kita yang bikin capek dan akhirnya puncak yang dilihat terasa jauh sekali dan sulit sampainya.

Jadi saya coba cenderung fokus apa yang saya lakukan sekarang. Fokus sama tanjakan kecil yang terjal nan banyak, turunan yang curam nan licin sambil sesekali lihat ke puncak atau arah jalan supaya gak salah arah atau malah jatuh ke jurang.

Fokus juga mengambil kesempatan-kesempatan yang sengaja maupun gak sengaja dateng di sekitar kita. Fokus liat sekitar, siapa tau ada mata air yang cukup buat menghilangkan dahaga. Siapa tau ada batang pepohonan yang bisa diraih buat bantu naik di tanjakan. Siapa tau ada bebatuan atau dahan pohon yang bisa dipegang saat lewat turunan curam.