Disclaimer: Tulisan ini sudah ditulis kurang lebih sebulan yang lalu. Tapi belum naik-naik karna gak nemu thumbnail tang cakep. Sekarang harus naik karna ada artikel lain yang ngantri dan harus segera naik. Makasih
Tweet Ayahanda
Beberapa waktu lalu tweet (yang sekarang “post”) putri kecil ayah sahabat saya lewat di timeline saya. Dia secara singkat bercerita bahwa setiap pulang sore dan bisa menikmati matahari sore adalah karunia yang harus selalu diyukuri. Alhamdulillah. Sebuah tweet yang biasa keluar dari sosok sahabat saya ini yang kelas bijaknya udah setara ayahanda Muhammadiyah. Saya yang baru mulai bekerja –kurang lebih hampir 2 bulan— cukup relate sama tweet satu ini.
Untung-untung dia maish bisa pulang sore dan ketemu matahari sore yang cocok selalu enak untuk dinikmati sambil ngopi dan ngobrol-ngobrol atau sekadar ndomblong aja sambil overthinking atau gak mikir apapun. Saya selama hampir 2 bulan, selama 5 hari setiap pekan selalu pulang setelah matahari gak lagi terlihat wujudnya, paling-paling tersisa warna ungu atau lembayung senja. Jadi setiap saya bisa pulang lebih awal atau keluar sore bisa betul-betul bersyukur ketika masih bisa lihat matahari sore atau matahari senja.
Agar Silaturahmi Tak Terputus, Maka Makan Bareng Temen
Beberapa hari lalu atau sekitar 20 harian setelah tweet itu muncul, saya ngajak 2 sahabat saya untuk makan malam bareng. Kebetulan saya pulang dari suatu acara di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan ngide ngajak temen saya makan setelah lama gak ketemu. Kebetulan pula saya bawa mobil jadi saya ajak sekalian aja bareng, karna biasanya obrolan berkualitas muncul saat di mobil.
Saat perjalanan pulang dari tempat makan, apa yang saya harapkan untungnya terjadi. Update kehidupan tetap berjalan, lalu obrolan-obrolan lain juga muncul. Diawali obrolan soal magang dan kerja, saya dan tiga teman saya membahas jarak dari tempat tinggal ke tempat magang/kerja. Satu dari teman saya punya tempat magang yang cenderung dekat, sekitar 5-10 menit dari tempat tinggal. Sedangkan saya dan teman saya satunya punya tempat magang/kerja yang cenderung jauh, perlu 15-25 menit perjalanan.
Menikmati Tubuh Rungkad
Tentu dengan jarak segitu, saya dan teman saya punya beberapa masalah yang sama akibat jarak yang sama. Salah satu yang dibahas adalah rungkadnya badan setelah seharian harus menghadap layar dan duduk dikursi yang gak nyaman-nyaman amat kalo dibuat duduk lama. Bagi saya yang baru kerja sekitar 2 bulan, awalnya kondisi tubuh lelah ini gak enak banget. Lagu “Berdansalah, Karir Ini Tak Ada Artinya” milik Hindia sering kali terngiang untuk mensugesti bahwa gak akan selamanya mengalami kondisi ini.
Namun, semakin kesini saya berpikir bahwa ini yang papa saya rasakan setiap hari –apalagi dengan jarak yang lebih jauh. Selain itu saya juga dapat insight dari senior yang konidisnya bekerja-kuliah-berorganisasi bahkan berkeluarga. Jadi saya menyugesti diri untuk kuat dan terbiasa dengan kondisi kayak gini. Pada akhirnya, sekarang saya bisa menikmati kondisi ini.
Sama dengan saya, teman saya punya pengalaman dan pemikiran yang sama. Awalnya dia mikir kalau berangkat disengat panas matahari pulang diterpa angin malam emang gak enak. Belum lagi antar jemput pacar yang tentu nambah jarak perjalanan lagi. Sama dengan saya, pada akhirnya bisa menikmati kondisi ini juga.
Ternyata pulang kantor dengan kondisi tubuh rungkad, diterpa angin malam, belum lagi pikiran untuk kerjaan yang lain maupun tugas yang lain gak kalah nikmatnya dengan secangkir kopi. Kalau kopi bisa dinikmati setiap sruputan, kalau tubuh rungkad bisa dinikmati setiap berhenti di lampu merah. Motor tak perlu dipacu terburu-buru, cukup dengan kecepatan yang gak berbahaya kalau sambil bengong tipis-tipis dan nyanyi lagu favorit kita.
Huft, betapa nikmatnya tubuh rungkad ini.