Warga Jogja pasti ingat dengan demonstrasi massa pada 8 Oktober 2020 di Gejayan sampai sekitar Jalan Malioboro yang salah satu tuntutannya soal Omnibus Law. Demonstrasi yang menyebabkan kericuhan hingga terbakarnya restoran Legian di samping selatan gedung DPRD DIY. Demonstrasi yang menyebabkan banyak penolakan oleh warga sekitar untuk melakukan demonstrasi di sekitar wilayah Malioboro lagi.
Saya adalah salah satu peserta dari ratusan mungkin ribuan massa demonstrasi saat itu. Saat itu saya hanya mahasiswa baru (maba) yang baru aja selesai ospek beberapa pekan sebelumnya yang lalu diajak abang-abangan kampus dan temen-temen yang FOMO demo, karena ada beberapa demo sebelumnya dan terhitung baik. Jadi, berangkatlah saya.
Namun, karena saya bukanlah anak-anak FOMO kayak yang saya sebutkan sebelumnya, tentu saya cari tahu dan mempelajari beberapa tuntutan yang akan disuarakan. Sampai pada hari-h demonstrasi, saya masih merasa belum benar-benar paham soal tuntutan yang ada. Tapi, karena sudah terlanjur membuat janji, maka saya harus tetap berangkat. Bukan lagi untuk menuntut, tapi sebagai fotografer. Ya, saya ikut demo ini untuk mengabadikan gambar.
Saya beranikan diri untuk ikut dan mengambil gambar juga tanpa alasan. Berkaca pada demo-demo sebelumnya yang terhitung cukup baik, damai, dan aman. Jadi saya gaskan saja. Tapi ternyata proses demonstrasi gak berjalan sesuai kaca yang lihat di awal. Chaos. Banyak yang terjadi pada diri saya di sana.
Terpisah Rombongan Kampus
Di awal, saya memang gak berangkat bersama rombongan kampus yang iktuan long march dari Gejayan ke Malioboro. Saya memilih langsung parkir dari sekitar parkiran Ngabean dan jalan menuju arah DPRD DIY sendirian. Sampai di sekitar DPRD tentu saya mencari rombongan dari kampus, supaya stick together dan aman di dalamnya.
Nyatanya, sebelum kerusuhan besar benar-benar pecah, sempat ada beberapa kerusuhan kecil yang terjadi. Meski cenderung kecil dan under control pihak berseragam, rombongan sayapun terpecah. Menjadi rombongan kecil-kecil, sekitar 5-10 orang. Begitu terus sampai akhirnya saya terpisah sendirian ketika banyak yang mundur. Saya pantang mundur karena pengen punya foto-foto epik.
Akhirnya saya beranikan maju hingga barisan terdepan. Sampai kejadian gas air mata pertama pecahpun –akan di ceritakan di subjudul selanjutnya saya masih di garis terdepan. Hingga akhirnya saya masuk ke halaman DPRD DIY untuk mengamankan diri dan malah gabung dengan rombongan teman-teman SMA –yang beneran saling jaga, gak ninggal kek anak-anak kampus sialan itu.
Gas Air Mata Pertama di Hidup
Seperti yang udah diceritakan di atas, gas air mata pertama pada demo saat itu adalah gas air mata pertama di hidup saya. Karena posisi saya berada di jalan di depan gedung DPRD untuk mengambil gambar, saya lupa kalau di sana ada resiko besar. Ketika mulai rusuh dikit-dikit saya tetap berusaha di depan untuk ambil gambar, hingga gas air mata tersebut muncul di depan saya persis, jarak kurang lebih 2—5 meter saja.
Saya yang panik, langsung lari menuju deretan toko pinggir jalan dan mencoba lari ke arah selatan. Sialnya, ketika sudah di depan KFC jalannya terblok tembok. Di saat itu juga gas air mata kedua, ketiga, dan seterusnya muncul. Saya terjebak, saya menangis karena perihnya mata dan mencoba untuk bisa bernafas dengan baik di tengah orang-orang yang panik hendak lari tapi terhalang tembok juga. Akhirnya, pelan-pelan sambil menahan perih dan sesak nafas mencari jalan keluar hingga akhirnya bisa menjauh dari tempat kerusuhan.
Menyelamatkan Satu Peserta Demo Sampai Rumah
Ternyata setelah kerusuhan pertama pecah, banyak kerusuhan selanjutnya yang pecah. Salah satunya yang menyebabkan restoran Legian terbakar dan saya punya fotonya.
Hingga menjelang maghrib, masih banyak peserta demo masih belum kunjung beranjak dari lokasi. Kalau tidak salah menunggu beberapa peserta demo yang ditangkap untuk dibebaskan.
Hingga menjelang maghrib itu pun masih beberapa kerusuhan terjadi. Saya yang sudah bersama rombongan teman-teman SMA dari awal akhirnya terpencar juga. Bahkan di kerusuhan akhir-akhir, para berseragam sampai menggunakan flashbang untuk memecah kerusuhan, benar-benar seperti perang. Tapi saya masih bersama salah satu teman saya, Iyok.
Saya selalu berusaha untuk tidak berpisah dengan Iyok, karena saya sadar kalau anak ini tidak boleh dibiarkan sendirian, bahaya. Apa yang saya resahkan soal anak ini benar-benar terjadi. Kala beberapa flashbang diledakkan, saya dan Iyok sesekali ter-stunt. Untungnya saya bisa cepat sadarkan diri, tapi tidak dengan teman saya satu ini. Kala semua orang lari menjauh, dia malah hanya berdiri dan diam, sesekali dia malah maju tanpa sadar.
Di saat itu lah, saya putuskan untuk pulang dan membawa Iyok untuk pulang. Tidak peduli bagaimana dia pulang ke rumah, motornya parkir di mana, bawa helm atau tidak? Pokoknya kita harus pulang ke rumah saya dulu untuk memastikan kita aman sampai di tempat teraman.
Sebenarnya masih ada beberapa kejadian yang agak membagongkan buat saya di kejadian ini. Tapi, kayaknya sudah terlalu panjang cerita ini. Jadi kita sudahi cerita hari ke 5 dalam rangkaian 30 hari bercerita ini dan berikut beberapa foto jepretan saya saat itu.