Pada cerita ke tiga pada series 30 hari bercerita di awal 2024 ini saya mau menceritakan soal nama tengah saya, Indhie. Nama yang sering disalah artikan oleh banyak orang, sering disalah tuliskan, sering disalah sebutkan, dan sering disalah kaprahkan.
Bahkan saat saat saya kecil –sekitar Taman Kanak-kanak (TK) ata Sekolah Dasar (SD)—, saya kesulitan mengeja dan menuliskan nama lengkap saya. Saya ingat saat hendak daftar masuk SD di salah satu SD swasta di Jogja. Sepanjang perjalanan di motor dari rumah menuju sekolah saya berusaha mengeja nama “H-a-n-i-f-I-n-d-h-i-e-P-r-a-t-a-m-a” agar tetap ingat dan bisa lancar ketika diminta untuk menuliskan nama sendiri.
Persoalan masa kecil saya sudah selesai, persoalan masa dewasa saya muncul. Ketika media sosial sudah mulai menjamur, saya menggunakan username “Hanif Indhie” sebagai nama media sosial saya. Tidak dengan “Pratama”, karna saya pikir terlalu panjang untuk dipajang di media sosial dan sebutan nama panggung. Jadi dua kata saja sudah cukup.
Di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan awal Sekolah Menengah Atas (SMA) saya nama ini masih belum jadi persoalan di orang-orang sekitar saya. Paling-paling saya perlu menjelaskan beberapa kali tentang kata “Indhie” yang merupakan singkatan nama orang tua saya, Intan dan Wendhie. Pertanyaan itu selalu muncul di awal perkenalan dengan teman baru di kelas maupun dengan guru di awal pertemuan dengan guru di kelas.
Dunia Berubah
Dunia berubah ketika pertengahan SMA, ketika musik dari musisi-musisi indie mulai bermunculan dan mulai populer. Sebut saja Efek Rumah Kaca, Payung Teduh, Fourtwnty dan masih banyak lagi yang bawain lagu-lagu di luar pasar industri musik saat itu. Di saat ini lah saya mulai banyak ditanyain soal eksistensi nama “Indhie”. Apakah keberadaannya adalah benar-benar nama asli saya? Atau hanya sekedar gimmick FOMO sama perindie-indiean ini.
Saya selalu harus menjelaskan ke setiap insan yang baru menyadari bahwa “Indhie” adalah nama asli di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saya. Saya juga harus menjelaskan bahwa “Indhie” adalah singkatan nama orang tua saya. Momen tersulit di hidup saya untuk menjelaskan nama saya adalah saat baru jadi mahasiswa baru (maba).
Kala itu saya diharuskan untuk mengambil sertifikat Masa Ta’aruf (Mataf) atau sejenis ospek program studi yang ada di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Antrian yang agak panjang udah cukup bikin saya bad mood duluan.
Antrian menipis dan akhirnya giliran saya ambil sertifikat. Ditanya lah saya sama seorang kakak tingkat (kating) yang saya gak tau namanya –bahkan saya lupa wajahnya, “Nama sama NIM nya?”. Ya spontan –UHUYYY. Saya menyebutkannya dengan jujur dan polos dong, “Hanif Indhie Pratama, 20200530301”. Kating yang asing ini terdiam, mencari nama saya di daftar nama orang hilang yang dia bawa.
Kayaknya dia menemukan nama dan NIM saya. Lalu saya melihat tatapan itu lagi, tatap yang sudah tentu pernah saya lihat sebelumnya. Tatapan kebingungan, ingin tertawa, ingin menjudge jadi satu dalam satu tatapan mengerikan. Terucaplah dari bibirnya “ini namamu beneran indie?”. Sebagai adik tingkat yang agak sungkan dan udah terlanjur bad mood, saya jawablah “hehe iya”.
Muncullah satu kalimat yang saya ingat sampai sekarang, “coba nyanyi lagu indie dong, kalau mau sertifikatnya aku kasih”. “Anjing” batinku yang udah terlanjur bad mood sebelumnya dan ingin segera bergegas pulang. Tapi, saya tetap tenang dan cuma kasih senyuman anime itu. Ketika sertifikannya sudah di tangannya, terucap lagi “ayok nyanyi dulu”. Sialan, saya kira bercanda ternyata serius. Demi sertifikan untuk lulus nantinya, nyanyi lah saya satu line lagu Fourtwnty, baru sertifikat itu jatuh di tangan saya dan segera bergegas pulang.