Cerita pertama kali saya menginjakkan kaki di Pulau Sumatera ini sebenarnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, bahkan jauh-jauh bulan. Sejak Bulan September, tapi tak kunjung ditulis juga. Mumpung ada kesempatan tekanan yang mengharuskan bercerita di 30 hari bercerita di awal tahun 2024 kali ini, mungkin ini saat yang tepat.
Bulan Agustus tahun lalu, saya berkesempatan untuk pertama kalinya terbang jauh ke Pulau Sumatera sisi agak utara yang tepatnya di Medan, Sumatera Utara. Perjalanan kali ini terjadi karena diharuskan oleh Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) untuk berangkat ke permusyawaratan terbesarnya, Muktamar. Jadi mau tidak mau, harus mau dan diusahakan berangkat.
Hari itu datang, akhirnya kami rombongan dari Jogja berangkat menuju Jakarta sekitar pukul 8 atau 9 malam. Sampai di Jakarta sekitar subuh dan kami singgah di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta. Ternyata di sana bukan rombongan kami saja yang mampir untuk beristirahat, banyak rombongan lain dari wilayah lain di Jawa. Singkat cerita bersih diri, sarapan, ngobrol-ngobrol dikit, langsung kita cuss menuju Bandara Soekarno-Hatta dan caw pakai maskapai singa –yang delaynya gak ngotak itu—ke Sumatera Utara.
Shock Culture di Sumatera
Setibanya di sana banyak hal yang agaknya bikin mas-mas jawir satu ini shock culture. Pertama, hal paling pertama yang bikin shock setibanya di sana adalah kenyataan bahwa helm gak ada harga dirinya dan keselamatan berkendara nomor sekian. Kami tiba di Deli Serdang sekitar pukul 8 malam dan melakukan perjalanan menuju lokasi kurang lebih selama 30 menitan. Di sana saya sedikit atau gak sama sekali pengendara motor pakai helm, bisa di hitung jari. Gokil.
Kedua, selain helm tidak harganya, di jalanan di sana tiada hari tanpa ketenangan. Klakson hampir kayak di video-video vrindavan, orang teriak-teriak di mana-mana (gak mau bilang marah karena kayaknya sebenernya mereka gak marah), polisi tiada harganya, dan macetnya lebih gak masuk akal dari Jakarta.
Ada satu kesempatan saya ada keperluan ke Kota Medan untuk service HP. Saya dan seorang teman saya berangkat dari lokasi Muktamar menuju lokasi service HP pada sekitar pukul 14an memakan waktu sekitar 20 menit perjalanan dengan jarak kurang lebih 9 kilometer. Proses service dan antri memakan kurang lebih 1,5 jam. Selesai urusan dengan HP sekitar pukul 16an, langsung kami pesan taksi online untuk mengejar agenda selanjutnya.
Perjalanan yang kami pikir akan memakan kurang lebih habis sekitar 20 menitan, ini kami habiskan lebih dari 60 menit alias satu jam. Gokil. Alasannya, karena peak time orang pulang kerja. “Tapi gak selama itu dong?”, nyatanya terjadi kan. Bayangkan jalanan yang padatnya sama dengan Jakarta, tapi punya ruas jalan yang lebih kecil dan orang-orang yang kurang aware dengan peraturan. Wah kacau. Shock saya. Di sana ada polisi, ada.
Ketiga, ternyata makanan di sana beneran gak cocok dengan perut saya. Perlu di ketahui bahwa hampir setiap hari kami di sana disuguhi dengan nasi padang –kira-kira begitulan orang Jawa menyebutnya. Di awal tentu saya sengang sekali dong dapat makan nasi padang terus. Lha kok di hari kedua perut mulai gak enak dan eror. Waduh, ternyata perut saya gak bisa langsung klop sama makanan sana. Butuh penyesuaian beberapa hari agak bisa normal lagi.
Keempat, kok ada ya? Mie seenak dan segokil Mie Bangladesh/Mie Bang Lades/Mie Bang Ladesh atau apapun itu. Ini ara-ara ini.
Kelima, keindahan Danau Toba. Poin kelima ini bukan shock culture, tapi lebih ke rasa bahagia, syukur, dan kagum saya lihat salah satu tempat yang sejak kecil hanya ada dalam buku pelajarn IPS dan hafalan dalam otak belaka. Selain ke Danau Toba, kami juga sempat nyebrang ke Pulau Samosir dan jalan-jalan di sana. Mungkin hanya 1% bagian Pulau Samosir.
Bagian paling mengharukan dari perjalanan di Danau Toba dan Pulau Samosir adalah film Ngeri-Ngeri Sedap yang punya latar cerita di sekitar Danau Toba juga. Entahlah, ketika menyebrangi untuk pulang saya teringat sama satu film keluarga ini yang bikin sesenggukan juga.