Ini adalah cerita saya bertemu warung kopi sederhana. Beberapa waktu lalu, saya dikenalin sama salah satu kerabat dari Barat Pulau Jawa soal satu warung kopi di Jogja. Beliau punya selera kuliner yang cukup tinggi –atau malah sangat tinggi. Saya bisa bilang gitu ya karena beliau ini tau buanyak banget tempat-tempat kuliner di Jogja. Malah saya yang warlok kadang suka gatau tempat-tempat ini. Salah satunya warung kopi ini
“Cobain nip, ke Tadasih. Warung kopi enak banget.”
“Dulu di Pasar Minggu Jakarta, sekarang pindah ke Jogja. Di selatan Alkid”
Secara otomatis ya saya percaya dengan selera tinggi beliau. Gak pake ba bi bu be bo, saya cek-cek media sosial dan google maps untuk pastiin tempat ini keren. Setelah cek-cek, “baiklah ini menarik, aku akan kesana secepatnya”.
Setalah diberi tahu pun masih sempet belum mampir-mampir ke warung ini karna kesibukan ini dan itu –idih sok sibuk. Setelah beberapa minggu saya lihat postingan story instagram temen yang juga pecinta kopi akut, lagi mampir di warung ini. Saya pikir, “wah fix sih ini pasti enak banget”
Setelah beberapa hari setelah hari itu, tak mantabkan diri lah untuk datang ke warung kopi ini dengan mengosongkan jadwal untuk bisa dateng ke warung kopi yang bukanya pagi ini. Eh, lebih tepatnya bangun lebih pagi. Sambil ngajak temen saya yang sebenernya gak demen-demen amat sama kopi, tapi yawis lah gass ngeng.
Singkat cerita sampai di warung kopi yang udah cukup rame waktu itu, langsung aja masuk ke tempat tukang kopi menyiapkan kopinya. Tapi ternyata saya salah, ada beberapa SOP dan mekanisme baru buat saya yang disebut Slow Bar. Konsep baru buat saya yang bukan pendekar kopi yang suka keliling nyobain kopi.
Setelah mendapatkan waktu untuk bertemu sang tukang kopi dan memesan beberapa kopi. Sebagai customer baru yang gak ngerti apa-apa iseng dong ngajak ngobrol tukang kopi ini. Dari obrolan pertama ini saya mengerti kenapa warung kopi ini jadi favorit.
Ketika kopi sudah diseduhkan dan saya hirup wanginya, saya tambah mengerti kenapa warung kopi ini disarankan oleh kerabat saya. Sampai pada sruputan pertama “sruuuuppptttt”, saya tahu kalau ini akan jadi warung kopi favorit saya yang akan berulang kali saya datangi untuk sekadar ngopi atau ngobrol bareng temen bahkan menjamu tamu.
Oiya lupa, ada bagian favorit yang lupa saya ceritakan di atas. Saya heran, kenapa ya? Diantara coffe shop estetik dengan kosep bangunan pemborong lari bawa uang yang menyajikan makanan berat maupun ringan yang bisa dibilang western. Warung kopi ini malah cuma menyajikan apem saja, tok til, tanpa makanan lainnya. Tapi apemnya broo. Legit.
Itu pertemuan pertama saya dengan warung kopi sederhana bernama Tadasih ini. Setelahnya saya makin sering lagi ke warung kopi ini, minimal seminggu sekali. Semakin sering saya kesini, makin kenal dan dikenali sama tukang kopi sekaligus pemilik warung kopi ini yang super humble dan insightfull. Seenggaknya setiap kesini selalu ada topik obrolan baru bareng masnya, baik soal kopi maupun soal apapun yang terjadi di dunia ini.
Saya juga belajar banyak soal berlaku jadi manusia dari warung kopi ini. Ramah bukan jadi milik si tukang kopi, tapi setiap orang yang datang di sini. Bahkan di awal pertemuan dengan warung kopi ini saya langsung dapet kenalan mbak-mbak pecinta kopi yang lalu menyarankan saya beberapa tempat kopi enak lainnya.
Yah, bagi saya, ini tempat nongkrong terbaik buat saya. Kalian wajib coba.
Satu pemikiran pada “Warung Kopi Sederhana”
Komentar ditutup.